Di mata Washington saat itu, Jakarta merupakan "pagar" untuk menahan meluasnya paham komunisme di Asia Tenggara. Posisi politik Soeharto yang keras terhadap komunisme segaris dengan kebijakan politik Amerika. Apalagi Indonesia sangat strategis, terutama untuk memasok kebutuhan minyak negeri Paman Sam. Pre-siden Richard M. Nixon meng-inginkan Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah Pahlevi di Iran yang melenggang ke tampuk kekuasaan Iran setelah Mossadegh digulingkan.
Ekonom ini dibantu jaringannya di birokrasi berhasil menjerat Soeharto. Dolar pun deras masuk ke tanah air, sehingga membikin Indonesia terjerembab utang luar negeri. Kompensasinya Soeharto memberikan kontrak karya dengan sistem PSA (profit sharing agreement) kepada korporasi asal AS. Hingga saat ini, perusahaan seperti Freeport McMoran hingga ExxonMobil menikmati sumber daya alam Indonesia mulai Aceh, Papua hingga Blok Cepu. Dolar yang dibawa pulang korporasi AS. Itu jauh lebih tebal ketimbang yang masuk ke kas pemerintah.Begitulah sepak terjang John Perkins, seorang the ecomic hitman (bandit ekonomi) yang menyebut "Indonesia adalah korban pertama saya. Bandit ekonomi adalah "umpan" untuk membuka proyek-proyek yang didanai Bank Dunia, IMF dan lembaga keuangan lain di negara-negara berkembang. Tentu saja tak ada "makan siang gratis", karena negara tersebut wajib memberikan proyek itu kepada korporasi-korporasi Amerika Serikat. Dus, mengamankan kepentingan AS dari menyewakan lokasi untuk pangkalan militer atau mendukung negeri adidaya itu dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Ringkas-nya, bandit ekonomi mengabdi pada tujuan membangun imperium Amerika