HUKUM MENGHINA NABI SAW.
Mencela, mengolok-olok, mencaci-maki, ataupun merendahkan martabat Rasulullah saw, dalam terminologi fiqih Islam dikenal dengan istilah sabba ar-Rasûl atau syatama ar-Rasûl. Untuk mengetahui lebih lanjut kata-kata atau kalimat-kalimat seperti apa yang terkategori sabba ar-Rasûl, ada baiknya kita menyimak deskripsi tentang sabba ar-Rasul itu
.
Ibn Taimiyah, dalam kitabnya, ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtimi ar-Rasûl, menerangkan tentang batasan orang-orang yang menghujat Nabi saw, yaitu: kata-kata (lafadz) yang bertujuan untuk menyalahkan, merendahkan martabatnya, melaknat, menjelek-jelekkan, menuduh Rasulullah saw tidak adil, meremehkan, serta mengolok-olok Rasulullah saw1.
Di dalam kitab tersebut juga beliau menukil pendapat Qadhi Iyadh tentang berbagai macam hujatan kepada Nabi saw. Dijelaskan demikian:
Orang-orang yang menghujat Rasulullah saw. adalah orang-orang yang mencela, mencari-cari kesalahan, menganggap pada diri Rasulullah saw. ada kekurangan, serta mencela nasab (keturunan) dan pelaksanaan agamanya; juga menjelek-jelekkan salah satu sifatnya yang mulia; menentang atau mensejajarkan Rasulullah saw. dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina, mengecilkan, menjelek-jelekkan, dan mencari-cari kesalahannya. Orang tersebut adalah orang yang telah menghujat Rasulullah saw. Orang semacam ini harus dibunuh2.
Contoh sikap dan kata-kata seperti itu adalah apa yang dikatakan oleh ‘Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafik di Madinah, yang terdapat dalam al-Quran:
Mereka (‘Abdullah bin Ubay dan kaum munafik) berkata, ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang paling mulia akan mengusir orang yang paling hina’. Padahal, kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang Mukmin. Akan tetapi, orang-orang munafik itu tidak mengetahuinya. (TQS. al-Munafiqun [63]: 8)
Yang dimaksud oleh ‘Abdullah bin Ubay dengan ‘orang yang paling mulia’ adalah dirinya sendiri, dan ‘orang yang paling hina’ adalah Muhammad Rasulullah saw.
Selain itu, pada masa Rasulullah saw, contoh kata-kata yang menghujat Nabi saw antara lain:
Nabi dan sahabat-sahabatnya adalah orang yang gembul (suka makan), orang yang suka berdusta, dan paling penakut di saat pertempuran,” “Muhammad bermimpi bahwa ia akan mampu menaklukkan negeri Syam berikut perbentengannya dan mampu melumpuhkan bangsa Romawi. Itu adalah mustahil terjadi dan tidak masuk akal3.
Pada masa sekarang, bentuk penginaan dan hujatan kepada Nabi saw itu bermacam-macam. Dalam cerpen, ‘Langit Makin Mendung’ karangan Ki Panji Kusmin, misalnya, (dimuat dalam majalah sastra Kisah edisi Agustus 1968), dia mempersonifikasikan Rasulullah saw sebagai makhluk yang suka gentayangan di atas kota Jakarta. Kita juga masih ingat dengan penghinaan Salman Rushdi terhadap Rasulullah saw melalui bukunya, The Satanic Verses (tahun 1989), yang menggambarkan Nabi saw yang mulia sebagai orang yang bejat moralnya, kejam terhadap kaum wanita, dan hidupnya dari harta hasil rampokan. Begitu pula pada tahun 1990; kaum Muslim di negeri ini dikejutkan lagi dengan hasil poling yang dilakukan oleh majalah Monitor untuk menentukan ranking 50 tokoh terkemuka yang dikagumi pembaca, yang oleh Arswendo dipublikasikan secara luas. Rasulullah saw tercantum di bawah rangkingnya Iwan Fals dan KH. Zainuddin MZ; malah disejajarkan dengan tokoh-tokoh kafir lainnya, seperti Bunda Theresa, Gorbachev, Cory Aquino, Margaret Tatcher, dan lain-lain.
Contoh lain adalah pernyataan-pernyataan bahwa Rasulullah saw itu hanya tokoh historis, manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan dosa sehingga ajaran-ajarannya bukanlah kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. Itu juga termasuk sikap dan kata-kata yang tidak layak diucapkan oleh pengikut Muhammad saw.
Tindakan-tindakan seperti itu jelas-jelas merendahkan dan menghina martabat Rasulullah saw. Mensejajarkan dan menganggap beliau sama dengan tokoh-tokoh lain seperti Lenin, Darwin, Raja Richard, Adolf Hitler, Paus Paulus, dan lain-lain merupakan penghinaan serta meruntuhkan keagungan dan kemuliaan Rasulullah saw. Padahal, Allah Swt telah menegaskan kemuliaan dan ke-ma‘shûman beliau. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (TQS. al-Ahzab [33]: 56)
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (TQS. an-Najm [53]: 2-4)
Memang benar, dalam hal perbuatan-perbuatan yang bersifat manusiawi (af‘âl al-jibiliyyah), beliau adalah manusia biasa; seperti bahwa beliau itu juga suka berjalan, makan, minum, tidur, berbicara, kadang-kadang marah, gembira, dan lain-lain. Hadits yang terkenal tentang penyerbukan kurma, yakni ketika teknik penyerbukan yang dilakukan dan diajarkan beliau tidak berhasil (gagal) sehingga keluar pernyataan Rasulullah saw, juga termasuk ke dalam kategori ini.
Engkau lebih mengetahui urusan duniamu.
Hadits ini konteksnya adalah dalam perkara-perkara (mubah) yang tercakup pada af‘âl al-jibiliyyah. Contoh lain yang terkategori ke dalam aktivitas semacam ini adalah teknik pertanian, teknik industri, dan lain-lain; yang menyangkut sains dan ilmu alam, biologi, astronomi, oceanografi, hidrologi, klimatologi, dan sejenisnya. Semua itu diserahkan kepada para pakar dan intelektualnya. Nabi saw dalam hal ini tidak mensyariatkan hal-hal teknis mengenai perkara-perkara semacam itu.
Sebaliknya, dalam aktivitas lainnya yang menyangkut perbuatan-perbuatan manusia dan berimplikasi hukum, seorang Muslim wajib mengikatkan dirinya pada al-Quran dan as-Sunnah. Dalam perkara inilah, Rasulullah saw bersifat ma‘shûm, tidak mungkin keliru/salah. Oleh karena itu, upaya sebagian intelektual Muslim yang mereaktualisasikan ajaran Islam, yang menganggap bahwa hal itu (yakni hukum-hukum Islam yang ada di dalam al-Quran, yang diterapkan oleh Nabi saw, serta yang diupayakan untuk diwujudkan/diterapkan pada masa sekarang) hanya sesuai untuk kondisi saat itu dan tidak layak untuk diterapkan pada masa kini maupun masa datang. Karena itu, menurut mereka, perlu ada usaha-usaha—yang mereka sebut—pembaruan, reaktualisasi, revitalisasi, penafsiran ulang, atau istilah-istilah lainnya. Allah Swt berfirman:
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)
Pertanyaannya, bagaimana hukum Islam atas orang-orang yang menghina atau menghujat Nabi saw? Di dalam kitab Nail al-Authar, terdapat bab yang berjudul, ‘Membunuh Orang yang Menghujat Nabi dengan Kata-kata yang Nyata’4. Di dalamnya terdapat dua buah hadits sebagai berikut:
1. ‘Ali bin Abi Thalib menuturkan bahwa ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi saw. (Karena perbuatannya itu) perempuan tersebut telah dicekik sampai mati oleh seorang lelaki. Ternyata Rasulullah saw menghalalkan darahnya. (Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud).
2. (Abdullah bin Abbas berkata) bahwa ada seorang lelaki buta yang istrinya selalu mencela dan menjelek-jelekkan Nabi saw. Lelaki itu berusaha memperingatkan dan melarang istrinya agar tidak melakukan hal itu. Namun, ia tetap melakukannya. Pada suatu malam, istrinya mulai mencela dan menjelek-jelekkan lagi Nabi saw. (Karena tidak tahan) lelaki itu mengambil kapak dan dihunjamkan ke perut istrinya hingga mati. Keesokan harinya turunlah wahyu kepada Rasulullah saw yang menjelaskan kejadian itu. Lalu beliau saw mengumpulkan kaum Muslim seraya bersabda:
Dengan menyebut asma Allah, aku berharap, orang yang melakukannya, yang tindakannya itu haq (benar), berdiri.
Kemudian (aku melihat) lelaki buta itu berdiri dan berjalan meraba-raba hingga tiba di hadapan Rasulullah saw. Lalu ia duduk dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, akulah suami yang melakukan itu. Kulakukan karena ia selalu mencela dan menjelek-jelekkan dirimu. Aku telah berusaha melarang dan selalu mengingatkannya, namun ia tetap melakukannya. Dari wanita itu aku memperoleh dua orang anak (yang cantik) bagai mutiara. Istriku amat sayang kepadaku. Akan tetapi, kemarin kembali ia mencela dan menjelek-jelekkan dirimu. Karena itu, aku pun mengambil kapak sekaligus menebaskan dan menghunjamkannya ke perut istriku hingga ia mati’. (Mendengar itu) Rasulullah saw bersabda:
Saksikanlah bahwa darah (wanita itu) halal. (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Nash-nash hadits tersebut menegaskan bahwa darah orang yang menghujat Nabi saw adalah halal. Dengan kata lain, hukuman atas orang-orang yang mencela, merendahkan, mengolok-olok, menghina ataupun menghujat Rasulullah saw adalah hukuman mati! Hukum tersebut diucapkan oleh Rasulullah saw secara langsung, bukan pendapat (ijtihad) para fuqaha maupun ulama. Dengan kata lain, hukumannya pasti (qath‘î), tidak berubah.
Islam menggolongkan para pencela, pengolok-olok, dan penghujat Nabi saw sebagai orang yang kafir. Allah Swt berfirman:
Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. (TQS. at-Taubah [9]: 66)
Bahkan, lebih dari itu, Islam nyata-nyata menolak tobat (permintaan maaf) mereka—seandainya mereka bertobat atas hujatannya terhadap Rasulullah saw. Hal ini menunjukkan kekhususan atas hukum orang yang mencela atau menghujat Nabi saw. Artinya, meskipun orang-orang yang menghujat Nabi saw itu bertobat dan meminta maaf, maka tetap atasnya diberlakukan hukuman mati! Allah Swt menjelaskan penolakan tobat (permintaan maaf) mereka di dalam firman-Nya:
Sama saja bagi mereka, kamu memintakan ampunan atau tidak bagi mereka. Allah tidak akan mengampuni mereka. (TQS. al-Munafiqun [63]: 6)
0 comments:
Posting Komentar