SEPUTAR ‘FIQIH PRIORITAS’


 Bagaimana kita harus bersikap jika menjumpai aktivitas-aktivitas yang kedua-duanya merupakan kewajiban yang harus ditunaikan? Dalam konteks kaum wanita, bagaimana menyikapi benturan antara urusan di luar rumah (seperti bekerja, dakwah, dan sejenisnya) dan urusan di dalam rumah (seperti mengatur/memelihara dan mendidik anak, melayani suami, dan sejenisnya)?

 Seorang Muslim, baik laki-laki maupun wanita, wajib menaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Mereka wajib terikat dengan seluruh ketentuan (hukum) yang ditetapkan oleh Allah Swt (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah). Allah Swt berfirman
: 

Tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi wanita yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan (hukum), akan ada pilihan (hukum lain) tentang urusan mereka. (TQS. al-Ahzab [33]: 36)

Para ulama ushul telah menyusun kaidah yang terkait dengan aktivitas perbuatan manusia, yaitu:
 (Hukum) asal yang menyangkut perbuatan (manusia) adalah terikat dengan hukum-hukum syariat.

Dengan demikian, prinsip dasar yang menjadi acuan seorang Muslim dalam menghadapi berbagai fenomena aktivitas kehidupan adalah keterikatannya pada hukum-hukum syariat. Apabila aspek ini telah terbentuk, maka menjauhkan seluruh perkara yang diharamkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya serta menjalankan seluruh kewajiban Allah Swt dan Rasul-Nya adalah aspek kedua yang harus menghunjam dalam benak seorang Muslim. Rasulullah saw bersabda:

Perkara apa saja yang sudah kami larang atas kalian, jauhilah; perkara apa saja yang telah kami perintahkan kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian (semaksimal mungkin). (HR. Bukhari-Muslim dalam Hadîts Arba‘în an-Nawawiyah, no.9)

Berdasarkan hal ini, perkara yang tergolong wajib (fardhu) lebih diutamakan daripada aktivitas yang termasuk sunnat (mandûb); aktivitas sunnat (mandûb) lebih diutamakan daripada perbuatan mubah. Misalnya, memberi nafkah belanja (yang diwajibkan bagi suami atau laki-laki) kepada istri atau keluarganya harus diutamakan daripada mengeluarkan sedekah (yang hukumnya sunnat) kepada orang lain. Menyampaikan dakwah (yang hukumnya wajib) lebih diutamakan daripada ziarah (mengunjungi tetangga/teman) sekadar untuk bercakap-cakap biasa (yang hukumnya sunnat). Berangkat menuju medan perang untuk berjihad fi sabilillah melawan negara-negara kafir yang memerangi negeri-negeri kaum Muslim jauh lebih utama daripada hanya bersikap empati dengan berdoa bersama-sama untuk keselamatan kaum Muslim. Melakukan amar makruf nahi mungkar (yang hukumnya wajib) lebih didahulukan daripada menjalankan aktivitas sosial (yang hukumnya mandûb). Mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak-anak di rumah (yang merupakan kewakjiban seorang ibu) jauh lebih utama daripada meninggalkan rumah untuk bekerja (yang hukumnya mubah bagi wanita) seraya meninggalkan anak-anaknya di rumah. Demikian seterusnya. Semua itu merupakan contoh-contoh bahwa perkara fardhu (wajib) harus diutamakan/didahulukan daripada perkara sunnat (mandûb) atau mubah.
Lalu bagaimana jika perkara-perkara yang sama-sama wajib (fardhu) pada saat bersamaan dihadapkan kepada, sementara keduanya tidak mungkin dijalankan secara bersamaan? Contohnya adalah seperti antara kewajiban memberi nafkah dan kewajiban berhaji; antara menaati suami dan menaati bapaknya (bagi kaum wanita); antara keluar rumah untuk berdakwah dan mengurus urusan suami dan anak-anaknya (bagi kaum wanita); dan seterusnya.

Untuk menjawab adanya fenomena-fenomena semacam itu diperlukan pendalaman beberapa perkara, sebagai berikut:
1. Perkara yang termasuk fardhu ‘ain lebih diutamakan daripada perkara yang tergolong fardhu kifâyah. Misalnya, shalat wajib lima waktu harus didahulukan daripada menjalankan shalat jenazah; seorang dokter (tabib) fardhu ‘ain hukumnya mempelajari hukum-hukum Islam yang menyangkut kedokteran daripada mempelajari hukum-hukum Islam tentang industri; tafaqquh fî ad-dîn yang terkait dengan aktivitas seorang Muslim lebih didahulukan daripada mempelajari sains dan teknologi; menjaga dan memelihara ibu (bagi anak laki-laki tunggal, misalnya) lebih diunggulkan daripada berangkat ke medan jihad fi sabilillah (jihâd li al-hujûmi).



2. Perkara yang termasuk fardhu (wajib) yang dari segi pelaksaannya dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu fardhu al-muwassa‘ (kewajiban yang waktu pelaksanaannya amat leluasa) dan fardhu al-mudhayyaq (kewajiban yang waktu pelaksanaannya amat sempit sehingga harus segera dilaksanakan). Fardhu al-mudhayyaq lebih didahulukan daripada fardhu al-muwassa‘. Misalnya, panggilan suami (bagi sang istri) untuk berada di rumah lebih didahulukan daripada aktivitasnya berdakwah (ke luar rumah), karena aktivitas dakwah seorang wanita dapat dilakukan kapan saja (sehingga tergolong fardhu al-muwassa’), sementara panggilan/permintaan suaminya saat itu—yang mengharuskannya berada di dalam rumah—tidak dapat ditunda.
Di samping itu, Rasulullah saw menjelaskan kepada kita beberapa perkara yang menunjukkan skala prioritas berdasarkan teks nash. Berbakti kepada ibu, contohnya, didahulukan daripada kepada bapak. Berbakti kepada suami (bagi seorang istri) lebih didahulukan dibandingkan dengan berbakti kepada kedua orangtua (birr al-walidain).

Teks nash tersebut tercantum dalam sabda Rasulullah saw berikut:

Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Siapa yang lebih diutamakan (untuk menerima) perbuatan baik? Nabi menjawab, ‘Ibumu’. ‘Setelah itu, siapa lagi? ‘Ibumu’. ‘Lalu siapa lagi?: ‘Ibumu’. ‘Setelah itu, siapa lagi? ‘Bapakmu’. (HR Mutaffaq ‘alaih)
         
‘Aisyah r.a. berkata:
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap wanita? Jawab Nabi, ‘Suaminya’. Aku bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang haknya paling besar terhadap laki-laki? Jawab Nabi, ‘Ibunya’. (HR al-Hakim)
Dengan mengikatkan diri kita pada hukum-hukum syariat, maka kehidupan seorang Muslim akan menghasilkan ketenteraman dan kemaslahatan, dan melalaikan prioritas hukum-hukum syariat dapat berakibat pada kerusakan dan kehancuran.

0 comments:



Posting Komentar