Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar
Umat Islam di masa sekarang sesungguhnya tidak pernah mengalami hidup di bawah Khilafah (negara Islam) sejak kehancurannya tahun 1924 di Turki (Mughni, 1997:149). Pasca tragedi itu praktis generasi umat Islam selanjutnya lahir dan hidup di bawah hegemoni sistem pemerintahan demokrasi ala Barat. Karena itu, ketika berbicara tentang sistem pemerintahan, mereka tidak akan mampu membayangkannya kecuali berdasarkan standar-standar sistem demokrasi yang dipaksakan penjajah. Ini diperparah lagi dengan bercokolnya peradaban Barat (al-hadharah al-gharbiyah) --yang berpangkal pada ide sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan)-- di Dunia Islam yang telah merasuki segala sendi dan aspek kehidupan (An-Nabhani, 1994:9).
Dalam kondisi seperti inilah, dapat dipahami mengapa lalu muncul opini-opini negatif seputar ide Khilafah. Misalnya, Khilafah sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang. Atau, Khilafah harus ditolak karena hanya menimbulkan konflik, perpecahan, bencana dan kemerosotan bagi umat. Dan seterusnya. Opini-opini negatif itu lahir tentu bukan karena ide Khilafah itu batil dalam pandangan Islam, melainkan karena ia bertentangan dengan realitas sistem demokrasi yang ada, atau tidak sesuai dengan pola pikir sekularistik yang mengharuskan pemisahan agama dari politik. Di balik itu dapat juga dipahami, bahwa opini semacam itu tentu tidak dimaksudkan demi kebaikan Islam dan umatnya, tetapi untuk menjustifikasi realitas bobrok yang ada agar umat Islam terus dijajah dan dieksploitasi oleh negara-negara imperialis yang kafir di bawah pimpinan Amerika Serikat. Sekaligus untuk menjegal gerak laju kebangkitan umat Islam yang mulai sadar dan ingin mengembalikan Khilafah di muka bumi.
Tulisan ini bermaksud menampilkan berbagai opini negatif tersebut, sekaligus mencermati dan mengkritisinya agar umat memahami bahwa opini-opini itu sesungguhnya adalah palsu dan harus ditolak.
Opini Negatif dan Jawabannya
Banyak sekali opini negatif tentang Khilafah, baik dari kalangan orientalis, maupun intelektual muslim dari luar dan dalam negeri. Para orientalis biasanya gemar melukiskan bahwa Khilafah itu penuh penyimpangan, kesewenang-wenangan, absolut, otoriter, dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban (Dhiauddin Rais, 2001:283-284). T.W. Arnold dalam bukunya The Caliphate hal. 47 mengutip ucapan Arnold Toynbee,”Khalifah yang diakui [oleh para ulama] adalah sebuah pemerintahan despotis (sewenang-wenang), yang penguasanya mempunyai kekuasaan tak terbatas, dan menuntut ketaatan tanpa reserve dari rakyatnya.” Senada dengan ini, D.S. Margoliouth dalam bukunya Mohammedanism hal. 97 mengatakan,”Jika seseorang telah ditentukan untuk memegang kekuasaan, maka kaum muslimin tak punya hak untuk menggugat pemimpin yang sedang berkuasa itu.” Sementara itu D.B. Donald mengatakan,”Tidak mungkin –sama sekali— seorang imam [khalifah] menjadi pemimpin berdasarkan konstitusi, dalam pengertian seperti yang kita ketahui.” (D.B. Donald, The Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, hal. 58-59).
Terhadap opini ini bisa diajukan beberapa jawaban. Pertama, jika yang dimaksudkan oleh Toynbee dan Margoliouth adalah aspek normatif Islam, maka opini mereka adalah tuduhan palsu. Sebab akan kita jumpai nash-nash syara’ yang memberikan batasan kekuasaan khalifah dan mewajibkan muhasabah (pengawasan) kepada penguasa. Dalam Islam, penguasa wajib berbuat adil, tidak boleh berbuat zhalim (sewenang-wenang) (lihat QS An-Nisaa` [4]:58). Rakyat wajib mengawasi dan mengontrol penguasa sebagai bagian dari aktivitas saling menasehati atau amar ma’ruf nahi munkar (lihat QS Al-‘Ashr [103]:3 dan Ali Imran [3]:104,110). Ketaatan rakyat kepada penguasa hanya pada yang ma’ruf, bukan pada yang munkar. Sabda Rasul,”Innama ath-tha’athu fi al-ma’ruf” (ketaatan hanya pada yang ma’ruf), demikian hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Kedua, jika yang mereka maksudkan adalah aspek realitas, bukan normatif, maka mungkin saja terjadi seorang khalifah berbuat zhalim. Sebab khalifah adalah manusia biasa, bukan orang yang maksum (infellible). Namun kezhaliman khalifah adalah fakta, bukan norma. Ini menyangkut apa yang ada (das sein), bukan apa yang seharusnya (das sollen). Sama halnya dengan seorang muslim yang mencuri. Ini fakta, bukan berarti Islam membolehkan pencurian. Para orientalis telah sengaja mengaburkan dan mencampuradukkan dua hal yang amat berbeda ini.
Ketiga, opini para orientalis yang sengaja mengeksploitir hal-hal negatif dari khilafah, sebenarnya didasarkan pula pada asumsi dan pengalaman Eropa sendiri, seperti perilaku despotik raja-raja Eropa pada Abad Pertengahan atau khususnya di Perancis pada abad XVI-XVII menjelang revolusi Perancis (1789) (Montesquieu, 1977:200; Lucas, 1993:269-283).
Mereka melakukan generalisasi dari pengalaman sempit mereka, dan menerapkannya pada realitas dan sejarah umat Islam. Tentu perspektif ini sangat gegabah dan sembrono. Keempat, pendapat Donald juga tidak mendalam dan sangat tendensius. Sebab sungguhpun dalam Khilafah tidak ada konstitusi dalam pengertian Barat –yang ditetapkan oleh majelis wakil rakyat— namun dalam Islam diakui adanya berbagai hukum yang diadopsi khalifah untuk mengatur urusan rakyat (An-Nabhani, 2001:86; 1953:116-127). Bukankah hukum-hukum ini fungsinya sama dengan konsitusi dan undang-undang modern, yakni untuk mengatur urusan publik?
Pendapat para orientalis di atas akhirnya diadopsi oleh sebagian kalangan intelektual muslim, misalkan Ali Abdur Raziq. Nama ini pantas disebut secara khusus. Namun bukan dalam konteks keteladanan, melainkan dalam konteks kelancangannya menjadi ulama pertama yang mengingkari wajibnya Khilafah. Bukunya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm yang terbit di Mesir tahun 1925 menafikan hubungan Islam dengan politik. Raziq dalam bukunya hal. 150 dan 167 intinya menolak adanya sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan menolak bahwa Rasul telah mendirikan sebuah negara yang bersifat politis (Al-Khalidi, 1980: 85).
Sementara itu Dr. Sulaiman Ath-Thamawi dalam bukunya As-Sulthath Ats-Tsalats hal. 282 mengatakan bahwa Al-Qur`an dan As-Sunnah tak pernah menyinggung masalah pemerintahan, kecuali sekilas dan sekelumit saja (Al-Khalidi, 1980: 87). Karena itu, bentuk sistem pemerintahan dalam Islam akan selalu berkembang dan berubah mengikuti tuntutan perkembangan masyarakat. Inilah inti pendapat Muhammad Al-Baltaji dalam bukunya Manhaj Umar ibn Al-Khaththab fi At-Tasyri’ (hal. 417), dan Dr. Muhammad Abdullah Al-Arabi dalam bukunya Nizham al-Hukm fi Al-Islam (hal. 49) (Al-Khalidi, 1980: 87).
Ujung-ujung berbagai opini ini akhirnya dapat diduga, yaitu menolak konsep Khilafah dan menerima sistem demokrasi yang ada. Fazlur Rahman, misalnya, menyatakan bahwa negara dalam Islam adalah berbentuk republik demokrasi dengan berkedaulatan rakyat. Menurut Fazlur Rahman sistem demokrasi ini sesuai Islam, realistis, dan akan menyenangkan masyarakat jika diterapkan (Amiruddin, 2000:153).
Pendapat para orientalis dan para intelektual muslim luar negeri yang negatif terhadap Khilafah ini, pada gilirannya juga merasuki para intelektual muslim di Indonesia. Harun Nasution (1983), misalnya, mengatakan bahwa tidak ada ayat atau hadits yang mengharuskan sistem pemerintahan tertentu dalam Islam. Maka dalam sejarah, bentuk sistem pemerintahan Islam bisa berubah-ubah. Masa Khalifah empat, menggunakan sistem demokratis dan republik (1983:16), lalu pada Masa Muawiyah, berbentuk monarki (1983:18&23). Kemudian di abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, berbentuk monarki konstitusional, dan akhirnya pada paruh kedua abad ke-20, bercorak republik (1983:23). Inti pendapat ini juga jelas, menolak konsep Khilafah sebagai bentuk negara dalam Islam dan menerima realitas yang ada.
Pendapat yang senada ini banyak sekali, yang intinya menolak negara Islam (Khilafah) dan membenarkan demokrasi, seperti Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara (1990), Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), Nurcholish Madjid dalam buku Tidak Ada Negara Islam (1997). Dan masih banyak lagi. Kiranya kini sangat sulit sekali menemukan intelektual atau ulama Indonesia yang ikhlas yang tetap mengakui wajibnya Khilafah.
Sulit sekali menemukannya. Tapi itu ada, misalnya KH. Moenawar Khalil dalam bukunya Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Qur`an dan Sunnah (1984) dan Ulil Amri (1984).Terhadap berbagai opini intelektual muslim ini, dapat diajukan beberapa jawaban secara garis besar. Pertama, dari segi orisinalitas, opini-opini tersebut sesungguhnya tidaklah orisinal, tapi sekedar plagiat dan imitasi dari pendapat orientalis yang kafir. Tujuannya sama dengan orientalis, yakni menolak negara Islam dan membenarkan peradaban Barat yang tengah menguasai Dunia Islam, tak ada lain.
Kedua, dari segi ide dasar, para intelektual tersebut (seperti Ali Abdur Raziq, Harun Nasution, Nurcholish Madjid) sebenarnya telah mempercayai sekularisme sebagai standar yang absolut dan tidak boleh diubah. Sekularisme yang merupakan pengalaman lokal Barat telah dianggap bisa berlaku secara universal, sehingga bisa diterapkan pula untuk umat Islam (Audi, 2002: xiv).
Maka Islamlah yang harus diubah, jika tidak sesuai dengan sekularisme. Atau sekularisme dicari-cari justifikasinya secara paksa dari khazanah pemikiran Islam (Armas, 2003:14-22). Ketiga, dari segi metode berpikir (thariqah al-tafkir), para intelektual itu telah menjadikan realitas sebagai sumber pemikiran. Positivisme yang menjadikan realitas empirik sebagai sumber pengetahuan telah menjadi pegangan absolut, melebihi sumber pengetahuan berupa wahyu (Al-Qur`an dan As-Sunnah). Ini nampak jelas dari cara berpikir Harun Nasution, yang menurutnya sistem pemerintahan selalu berubah-ubah sepanjang sejarah.
Karena sekarang bentuknya republik, bukan Khilafah, maka republik itulah yang benar. Tentu, cara berpikir ini sangat naif. Sebab yang berubah sebenarnya bukanlah sistem pemerintahan Islam secara normatif, melainkan bentuk atau cara pelaksanaannya secara praktis-empiris, yang bisa saja menjadi tidak sesuai dengan Islam. Misalnya sistem putra mahkota semasa Muawiyah. Ini adalah penyimpangan. Jadi, fakta itu tidak berarti Islam membenarkan sistem pewarisan kekuasaan. Keempat, secara syariah, opini-opini yang menolak Khilafah adalah benar-benar suatu pendapat yang baru di abad ke-20, yang tidak pernah diungkapkan oleh seorang pun dari kalangan ulama-mujtahidin yang terpercaya.
Ini berkebalikan secara total dengan pendapat palsu Abdullahi Ahmed An-Naim, misalnya, yang mengatakan bahwa ide “negara Islam” adalah pembaharuan yang dilakukan oleh fundamentalis selama paro kedua abad ke-20 (Berger, 2003:202). Memang kosakata “negara Islam” (ad-dawlah al-islamiyah) populer di abad XX, tapi sejak dahulu para ulama telah menggunakan istilah “Imamah” , “Khilafah”, atau “Darul Islam” untuk maksud yang sama (Az-Zuhaili, 1996:823). Dalam hal kewajibannya, Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz V hal. 308, telah menukilkan bahwa Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu hukumnya wajib (Al-Jaziri, 1999:308; Ad-Dimasyqi, 1996:208).
Penutup
Jika kita mendalami opini-opini negatif di atas, sesungguhnya asumsi dasar di balik semua opini negatif itu adalah paham sekularisme. Inilah satu-satunya pangkal semua opini penolakan Khilafah. Tak ada ide yang lain. Sekularisme yang tumbuh dan lahir dalam setting sosio-historis Barat ini, telah dijadikan qa’idah fikriyah (landasan pemikiran) untuk membangun semua pemikiran cabang, sekaligus menjadi miqyas (standar) untuk menilai benar salahnya pemikiran lain. Padahal sekularisme adalah konsep partikular dan lokal (Barat), serta tidak bisa dipaksakan berlaku secara universal atas Dunia selain-Barat. Dalam kaitan ini Th. Sumartana mengatakan : “Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan antara agama dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara negara dan agama di bagian dunia yang lain.” (Th. Sumartana, dalam Robert Audi, 2002:xiv)
Selain itu, berbagai opini yang berusaha memberikan citra buruk pada Khilafah atau menegasikan kewajiban Khilafah, sebenarnya mendasarkan diri pada positivisme, yang dirintis oleh August Comte (w. 1857). Menurut paham ini, realitas adalah sumber pemikiran (al-waqi’ mashdar at-tafkir). Realitas juga standar untuk menilai benar salahnya suatu gagasan (Suparman & S. Malian, 2003:48-49). Padahal, cara berpikir ini pun juga keliru sebab ia lahir dari rahim sekularisme. Sebab setelah agama (Kristen) mengalami sekularisasi di Eropa sejak abad XV M, sumber pengetahuan secara epistemologis bukan lagi wahyu, melainkan realitas empirik yang selalu berubah dan berkembang.
Paham inilah yang mendasari ide keliru bahwa sistem pemerintahan Islam terus berkembang dalam sejarah. Paham itu pula yang dijadikan titik tolak untuk memburukkan citra Khilafah dengan mengeksploitir penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi, seperti sistem putera mahkota. Seakan-akan memang begitulah Islam yang seharusnya. Padahal itu realitas, bukan norma. Walhasil, buruknya penerapan Islam di sebagian masa, tidaklah bisa menjadi dasar untuk menolak sistem Khilafah. Sebagaimana juga adanya realitas dominasi demokrasi saat ini, tidak bisa dijadikan standar untuk menolak Khilafah.
Jelaslah, opini-opini negatif yang berusaha memburukkan citra Khilafah, atau menegasikan kewajiban Khilafah, sesungguhnya dimaksudkan untuk menghancurkan laju kebangkitan umat Islam untuk mengembalikan Khilafah. Selain itu, opini-opini jahat itu hanya dimaksudkan untuk melestarikan hegemoni sistem demoktasi-sekuler yang ada, agar negara-negara kapitalis yang kafir di bawah pimpinan AS dapat terus menginjak-injak dan menghinakan umat Islam di seluruh dunia. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan
I. (Beirut : Darul Fikr)
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cetakan I. Beirut : Darul Fikr.
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam Cetakan I. Kuwait : Dar Al-Buhuts Al-
Ilmiyah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz II. Cetakan II. Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-
Tahrir.
----------. 1994. Ad-Dawlah Al-Islamiyah. Cetakan V. Beirut : Darul Ummah.
----------. 2001. Nizhamul Islam. Cetakan VI. T.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman Cetakan I. Yogyakarta : UII Press.
Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Cetakan I. Jakarta : Gema Insani Press.
Audi, Robert. 2002. Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal. Cetakan I. Yogyakarta : UII Press.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut :
Darul Fikr)
Berger, Peter L. (Ed.). 2003. Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia (The Desecularization of The World).
Cetakan I. Alih Bahasa Hasibul Khoir. Yogyakarta : Ar-Ruzz.
Khalil, Moenawar. 1984. Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Qur`an dan Sunnah . Cetakan II. Solo : CV.
Ramadhani.
----------. 1984. Ulil Amri. Cetakan I. Solo : CV. Ramadhani.
Lucas, Henry S. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan (A Short History of Civilization). Alih Bahasa
Sugihardjo Sumobroto & Budiawan. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Ma’arif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan : Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta
: LP3ES.
Montesquieu. 1977. The Spirit of Laws. Edited by David Wallace Carrithers. Berkeley : University of California Press.
Mughni, Syafiq A.1997. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Cetakan I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Nasution, Harun. 1983. “Islam dan Sistem Pemerintahan Sebagai Berkembang Dalam Sejarah.” Studia Islamika No.
17 Th. VIII Juli 1983. Jakarta : LPIAIN Syarif Hidayatullah.
Rais, Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam (An-Nazhariyah As-Siyasiyah Al-Islamiyah). Alih Bahasa Abdull Hayyi Al-
Kattanie dkk. Jakarta : Gema Insani Press.
Robert, Keith A. 1984. Religion in Sociological Prespective. Illinois : The Dorsey Press.
Santoso, Agus Edi (Ed.). 1997. Tidak Ada Negara Islam : Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Muhammad Roem.
Jakarta : Penerbit Djambatan.
Sjadzali, Munawwir. 1990. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta : UI Press.
Suparman & S. Malian. 2003. Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika. Cetakan I. Yogyakarta : UII Press.
0 comments:
Posting Komentar